Wednesday, December 10, 2014

PAPA

Baru saja gue memikirkan tentang sosok papa, mata ini sudah berkaca-kaca. Gue paling sensitif apabila disinggung mengenai hal ini. Sebagai anak perempuan gue terlalu yakin bahwa tidak ada yang akan mencintai kita anak perempuan lebih baik daripada ayah mencintai kita. Since the day i born, he always be the one who i can looked up to. The most loving, genuine and caring man i've ever met in my life. Papa adalah inspirasi besar gue. Dalam melakukan apapun, ia adalah orang pertama yang gue contoh. Orang yang tidak pernah marah ketika gue mendapat nilai jelek di sekolah.




Papa adalah seorang ayah yang selalu ingin makan malam bersama-sama hanya untuk bertanya "Bagaimana harimu?". Dia adalah ayah yang mengetuk pintu kamar gue setiap malam untuk memeriksa apa yang gue lakukan dan bukan untuk memata-matai, tetapi untuk memastikan bahwa lampu mati & gue di bawah selimut. Dia adalah  ayah yang masih mencium kening dan memeluk gue saat ia pulang kerja. Dia adalah ayah yang menelepon gue hanya untuk bertanya di mana gue. Beberapa bulan belakangan ini gue punya waktu mengobrol dengannya. Kita mengobrol banyak, berdiskusi tentang banyak hal. Kita berbicara seperti teman. Gue dengan ide-ide gue. Dan papa dengan masukan-masukannya. Termasuk rencana besar gue untuk membuat perpustakaan di desa tempat kita tinggal dulu dan membuat kegiatan “kelas inspirasi desa” yang bisa pergi ke desa-desa untuk berbagi tentang mimpi dan bagaimana menghidupi mimpi itu. Papa selalu menyambut baik ide-ide gue. Ia seperti percaya sepenuh-penuhnya kepada gue, anak perempuannya yang padat akan mimpi ini. Ia seperti memberikan ruang kepada gue untuk bisa “melakukan apa saja yang gue mau.” 
Mungkin hal ini akan jarang dilakuin kebanyakan ayah diluar sana, papa suka sekali merapikan kamar gue yang berantakan. Pernah satu hari ketika gue pulang larut dari kantor sesampainya dirumah gue mendapati kamar yang sudah rapi semua tertata cantik, bersih dan wangi. Ia tau anak perempuannya ini sering tak menyempatkan diri untuk menyentuh kamarnya sendiri, ia paham gue sering pulang larut karena lembur kerja atau kegiatan lain, seperti main mungkin hehe sehingga dikamar hanya untuk tidur, bangun, lalu pergi lagi. Tapi papa tidak pernah marah, dari kejadian ini gue bersyukur berkali-kali telah dititipkan Tuhan kepada sesosok lelaki berbadan besar dan berperut buncit ini. Gue selalu bangga menulis sesuatu tentang papa. Gue adalah anak perempuan yang beruntung punya kebanggan itu. I always, always proud to be his daughter.



He's turning 55 next year. Yes, he's old already. I always wishing for the longest life that God can give to him, so he'll be the one who shake my future husband hand in our 'ijab-qabul', sending him some of my income every month, Buy him stuffs that he can't afford right now, visit him and my mom on their house, and introduce them to my children. Papa sering menasihati gue untuk: “Hidup itu saling membantu orang lain. Hidup itu saling tolong menolong orang lain.” Nasihat sederhana, tapi begitu terngiang-ngiang. Gue pikir bukankah itu esensi hidup seorang manusia. Ayah gue tidak sempurna. Tapi entahlah, gue merasa hidup gue begitu sempurna ketika pertama kali gue belajar bicara dan memanggil ia, “Papa.” 
This year, i wish him the best success at work, every happiness that the world can offer him, and i just want to make him even prouder of me in you know every single thing i do.
I love you more than you ever know, pah.
 
 xoxo,
Marcellina Rahmadini

No comments:

Post a Comment