Friday, August 7, 2015

Rejeki Rasa

Kelas VI SDN Muara III Teluk Naga
Hari ini, kita bisa dengan mudah menyaksikan kebahagiaan orang lain. Karena kita hampir senantiasa disajikan laporan kebahagiaan itu lewat gambar, tulisan, ataupun video. Hidup tenteram di masa sekarang ini menjadi semakin sulit. Kita pun demikian. Kita tidak benar-benar tahu tentang perasaan orang lain. Tidak tahu tentang bagaimana orang lain menjalani hidupnya. Dan kita sering sok paham tentang mereka. Kita semakin kehilangan empati. Tumbuh dengan kepercayaan bahwa pertemuan di dunia maya bisa menggantikan pertemuan fisik. Sesungguhnya tidak demikian. Kita pun semakin tidak kuasa untuk meluapkan segala perasaan kita, mempublikasikannya dan semua orang menjadi tahu. Kita ingin memiliki privasi tapi kita sendiri yang membuka privasi. Hari ini kita akan belajar berempati, bahwa sungguh kita tidak benar-benar bisa memahami perasaan orang lain. Tanpa sengaja mungkin kita membuat orang lain membanding-bandingkan dirinya dengan kita. Tanpa sengaja pula mungkin kita membuat orang lain menjadi tidak bersyukur atas apa yang dia miliki hari ini. Hanya karena kita tidak bisa mengendalikan diri untuk merahasiaan perasaan bahagia kita.  
Rejeki adalah sesuatu yang dapat kita nikmati. Sekedar sesuap nasi sekalipun, kalau dalam perjalanan beberapa centimeter menjelang mulut kita kok ditakdirkan tumpah karena ada kucing melompat, maka sesuap nasi itu bukan rejeki kita. Sesederhana itukah? Iya. Yang membuat tidak sederhana adalah karena kita terlalu maksa dengan apa yang ekonomi modern diktekan kepada kita. Dalam prinsip ekonomi modern, berapa saja rasanya kurang. Sehingga apa saja menjadi halal dijual. Entah itu dibutuhkan oleh orang yang kita juali atau hanya dibuat-buat agar seolah-olah butuh. Pendidikan, kebudayaan hingga agama ikut-ikut dijual. Belum cukup juga semua itu, “kekhawatiran”-pun dijual juga. Jadilah orang sibuk tiada henti menumpuk harta, menambah tabungan, menanam investasi, mengikuti berganda-ganda asuransi demi meredam kekhawatiran atas masa depannya. Padahal masa depan itu “nanti” adanya. Seperti sesuap nasi yang belum sampai dimulut, potensialitasnya akan benar-benar sampai di mulut dan tidak itu adanya di “nanti”.
Maka sebetulnya orang-orang itu sedang sibuk tiada henti dalam rangka menjemput rejeki, atau sedang terbius oleh angan-angan tentang rejeki yang ia bangun sendiri? Saking sibuknya, sampai-sampai tak sempat merasakan yang saat ini bisa dirasakan, yang itu sejatinya adalah rejeki itu sendiri. Rejeki bisa merasakan manis, asam, asin, gurih, renyah, segar, bugar, bergairah, tentram, sepoi-sepoi, happy, loving & care. Kalau merasakan rejeki yang nyata-nyata riil saat ini bisa dirasakan saja tidak sempat, lantas mana sempat kita berpikir dan bertafakur, darimana asal-usul rejeki itu datang. Maka yang terjadi, komat-kamit mulut bermunajat minta rejeki tapi apa yang kita angan-angankan tentang rejeki seperti yang kita gambarkan tak kunjung datang. Itu tak beda dengan orang komat-kamit ngedumel hapenya tidak dapat sinyal tapi hapenya dibiarkan non-aktif. Atau ia tidak berpindah dari zona blank-spot. Sinyal tetap Nihil. Sinyal hape ada sumbernya, minimal saat mencarinya kita mendekat-dekat ke BTS. Kalau rasa manis, rasa tentram, rasa cinta, tidakkah kita mencari BTS dari sumber rasa-rasa itu? Bagaimana sebetulnya kecanggihan sistem transmisi yang membuat rasa-rasa itu terhantar dari pemancarnya pada kita, sehingga semua terlihat demikian alami tanpa rekayasa. 

Mungkin, kita tidak akan pernah selesai membanding-bandingkan. Kata guruku, segala yang baik itu adalah yang tumbuh ke arah kebaikan. Tidak ada yang benar-benar terbaik, yang ada hanyalah yang bersedia untuk terus memperbaiki dan diperbaiki. Lalu bagaimana kita bisa menentukan? Kata guruku, dasarnya adalah kecukupan. Manusia bisa jadi memiliki ribuan pakaian, tapi dia hanya bisa memakainya satu. Bisa jadi memiliki ratusan piring makanan dalam satu meja makan, tapi dia hanya akan bisa menghabiskan beberapa saja. Ambilah secukupnya. Karena yang cukup itulah justru yang bisa memberikan kenyamanan. Bisa memberikan ruang gerak untuk terus tumbuh, untuk terus memperbaiki diri. Pada akhirnya memang kita hanya perlu yang cukup. 
Maka, mari syukuri hari ini. Masa depan yang kita gadang-gadang dengan jutaan impian, sejatinya adalah hari ini. Masa depan yang kita impikan adalah hari ini. Bagaimana kita menjadikan hari-hari esok yang lebih baik kondisinya bergantung pada apa yang sedang kita lakukan hari ini. Kita tidak perlu berharap keajaiban. Pun pertolongan Tuhan itu akan datang ketika kita telah sampai pada batas usaha kita. Kita harus mengusahakan lebih dulu dan apa yang kita kira sebuah keajaiban adalah ganjaran atas apa yang pernah kita usahakan. Karena hasil tidak pernah mengkhianati proses kan? Hanya saja, kita tidak pernah mengerti tentang hasil terbaik. Karena terbaik antara versi manusia dan Tuhan itu memiliki definisi yang berbeda.

Kita sedang menjalani hari ini. Hari yang dulu semasa kita kecil, kita bercita-cita untuk berada di hari ini. Hari yang dulu dirancang penuh cita-cita. Apakah kita menjalani hari ini dengan bahagia, dengan bersedih, dengan rasa syukur, atau dengan kekecewaan? Kita bisa melihat ke jejak langkah kita. Dan kita melihat hari yang sedang kita jalani, apa yang terjadi? Mari bersyukur atas apa yang sedang kita jalani. Bila kita sedang sakit, maka jadilah orang sakit yang sabar. Bila kita sedang sehat, maka jadilah orang sehat yang mensyukurinya. Bila kita sedang jatuh, maka jadilah orang yang tenang agar bisa mengambil banyak hikmah. Bila kita sedang ditinggikan, maka jadilah orang yang rendah hati agar tetap bisa melihat ke bawah.
Mari menjalani hari ini dengan sikap terbaik. Semoga apapun yang terjadi pada kita hari ini, kita senantiasa menjadi orang yang selalu dibimbing langkahnya, selalu dijaga arah jalannya, selalu dilindungi imannya. 

xoxo,
Marcellina Rahmadini